Pengusaha nasional Sandiaga Uno (kiri)
menyambut kedatangan pebalap nasional Rio Haryanto (kanan) di Gedung
Recapital, Jakarta, Selasa (16/2). Sandiaga mendukung Rio berlaga di
ajang Formula 1. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf
Keberanian dan optimisme dalam memandang masa depan menjadi kunci
pembuka jalan untuk meraih kesuksesan. Inilah salah satu prinsip yang
dipegang teguh Sandiaga Salahuddin Uno yang populer disapa Sandi Uno
atau Sandiaga Uno.
Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIMPI) periode
2005-2008 ini belakangan popularitasnya menanjak lantaran masuk bursa
bakal calon Gubernur DKI Jakarta yang kemungkinan besar akan diusung
Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Dalam acara-acara yang digelar
Partai Gerindra, kehadiran Sandi Uno kerap disambut dengan sebutan
“gubernur kita”
Sebagai bakal calon gubernur, Sandi Uno memiliki sejumlah modal sadar
yang menjadikannya “berbeda” dibandingkan beberapa bakal calon lain.
Pertama, muda, ganteng, pintar, dan kaya raya. Untuk usia muda mungkin
tidak begitu istimewa karena sekarang ini sudah banyak politikus yang
sukses dalam usia muda.
Begitu juga muda dan ganteng, bahkan sudah banyak yang berhasil
memenangkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) seperti Zumi Zola
(Gubernur Jambi), Emil Elestianto Dardak (Bupati Trenggalek, Jawa
Timur), dan Sigit Purnomo Syamsuddin Said atau Pasha Ungu (Wakil
Walikota Palu, Sulawesi Tengah).
Untuk kriteria muda, ganteng, dan pintar juga sudah ada beberapa yang
mewakili. Tapi yang memadukan empat kriteria sekaligus (muda, ganteng,
pintar, dan kaya raya), saya kira Sandi Uno belum ada duanya.
Soal kepintaran, ia meraih Bachelor of Business Administration dengan yudisium
summa cum laude
dari Wichita State University, AS (1990), dan meraih gelar Master of
Business Administration dari George Washington University, AS (1992)
dengan indeks prestasi komulatif (IPK) yang sempurna (4,00).
Sementara dalam hal kekayaan, putra pasangan Razif Halik Uno alias
Henk Uno dan Rachmini Rachman alias Mien Uno ini sejak tahun 2007 hingga
saat ini beberapa kali masuk jajaran orang terkaya di Indonesia versi
majalah
Asia Globe dan
Forbes. Tahun 2014, misalnya, Sandi Uno masuk urutan ke-47 terkaya di Indonesia versi majalah
Forbes dengan jumlah kekayaan lebih dari Rp 6,3 triliun.
Kedua, selain memadukan empat kriteria di atas, Sandi Uno merupakan
sosok pemimpin muda yang berpegang tuguh pada prinsip. Ia pernah
memimpin HIPMI dan saat ini masih memimpin Persatuan Renang Seluruh
Indonesia (PRSI). Di antara prinsip yang ia pegang, bahwa kegagalan dan
kesalahan merupakan suatu keharusan, namun kegigihan dalam upaya untuk
lebih berani mencoba adalah kunci keberhasilan. Jika terus berusaha
untuk belajar dari kesalahan dan kegagalan, maka seseorang akan berada
di puncak kesusksesan.
Dalam bekerja, Sandi Uno menetapkan etos kerja “4 as”: kerja keras,
kerja cerdas, kerja tuntas, dan kerja ikhlas. Pada umumnya, kesuksesan
orang ditunjang dengan salah satu dari etos kerja ini, atau ditunjang
dengan dua etos kerja sekaligus, yakni kerja keras dan kerja tuntas;
atau kerja keras dan kerja cerdas; atau kerja keras dan kerja ikhlas.
Sangat jarang ada yang mampu memadukan keempat-empatnya.
Untuk modal dasar, saya kira sudah lebih dari cukup bagi Sandi Uno.
Masalahnya, untuk meraih jabatan publik seperti gubernur yang dipilih
langsung oleh rakyat, modal dasar baru bisa disebut sebagai modal
potensial yang masih membutuhkan upaya lebih lanjut untuk bisa dijadikan
modal aktual. Modal aktual seorang bakal calon gubernur adalah
keterkenalan (popularitas) dan keterpilihan (elektabilitas) yang
dipadukan dengan keterpenuhan syarat-syarat formal sesuai ketentuan
undang-undang.
Sejauh ini, modal aktual Sandi Uno masih relatif rendah jika
dibandingkan dengan bakal calon lain seperti Yusril Ihza Mahendra,
Adyaksa Dault, dan (apalagi) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Maka,
untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas merupakan langkah
strategis yang niscaya bagi Sandi Uno. Dibutuhkan langkah terobosan
untuk bisa mengejar ketertinggalan, misalnya melalui penawaran
program-program alternatif untuk membangun kota Jakarta sekaligus untuk
mengatasi masalah-masalah yang dihadapi ibu kota negara ini.
Dalam menjalankan program, keterlibatan media—baik yang resmi (media cetak, elektronik, dan
online)
maupun yang tidak resmi (media sosial)—menjadi sangat penting untuk
memberitakan dan memviralkan agar publik bisa mengetahuinya secara lebih
baik.
Langkah terobosan lain yang perlu dilakukan adalah dengan menggandeng
tokoh yang memiliki pengalaman mengesankan dalam memimpin birokrasi,
yang jika diekspose akan lebih mudah diterima kalangan media, misalnya
kepala daerah yang berhasil memimpin daerahnya. Sejauh ini baru Wali
Kota Surabaya Tri Rismaharini (Bu Risma) dan Wali Kota Bandung Ridwan
Kamil (Kang Emil) yang disebut-sebut media sebagai bakal calon Gubernur
DKI Jakarta. Setelah keduanya menyatakan tidak bersedia, media seperti
kehilangan tokoh alternatif.
Sebenarnya masih ada tokoh lain seperti Suyoto, Bupati Bojonegoro,
yang berhasil merebut puluhan penghargaan, di antaranya dari luar
negeri. Namun karena belum banyak diliput media nasional, popularitas
bupati yang akrab disapa Kang Yoto ini tidak setinggi Bu Risma atau Kang
Emil. Baru belakangan ini, nama Kang Yoto mulai disebut-sebut sebagai
salah satu bakal calon Gubernur DKI Jakarta.
Sebagai profesional di bidang bisnis, tidak ada yang meragukan
kemampuan Sandi Uno. Namun dalam memimpin birokrasi pemerintahan, Sandi
Uno belum memiliki pengalaman. Karenanya, tentu akan sangat baik jika
dalam proses pencalonan Pilkada DKI Jakarta, Sandi Uno, misalnya,
bekerjasama dengan Kang Yoto untuk meningkatkan popularitas dan
elektabilitas.
Jika popularitas dan elektabitas sudah bisa diraih secara memadai
untuk bersaing dengan para bakal calon lain, maka, soal persyaratan
formal–seperti partai politik pengusung dan pendukung—akan lebih mudah
didapatkan. Saat ini partai-partai masih mencari-cari tokoh siapa yang
layak diusung untuk bisa mengalahkan gubernur petahana, Basuki Tjahaja
Purnama.
Sumber